PERISAI BADILUM Ep. 12 Bahas Empat Perbedaan Mendasar KUHAP 1981 & 2025 Hingga Plea Bargain

DKI JAKARTA11 Dilihat
banner 468x60

Jakarta | Expose Online.co.id

Ketua Kamar Pidana itu menjabarkan empat perbedaan mendasar antara KUHAP 1981 dengan KUHAP 2025, yang mencakup pemanfaatan teknologi.

banner 336x280

Pertemuan Rutin Sarasehan Interaktif Badan Peradilan Umum (PERISAI BADILUM) kembali digelar oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum), pada Selasa (2/12).

PERISAI BADILUM yang keduabelas ini, mengusung tema “Das Sollen Peran Pengadilan dalam Sistem Peradilan Pidana”, dengan menghadirkan para narasumber, yaitu Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H, dan Wakil Menteri Hukum, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum.

Dalam pemaparannya, Prim Haryadi menjelaskan, alasan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain pembaruan hukum acara pidana, mewujudkan hukum yang memiliki nurani keadilan, kepastian, dan penyesuaian perkembangan teknologi.

Ketua Kamar Pidana itu menjabarkan empat perbedaan mendasar antara KUHAP 1981 dengan KUHAP 2025, yang mencakup pemanfaatan teknologi dengan pelaksanaan sidang daring dan adanya pengakuan bukti elektronik.

Selain itu, adanya jenis putusan baru berupa putusan permaafan hakim dan putusan pengenaan tindakan.

Dalam KUHAP 2025, Prim Haryadi menyebut, objek praperadilan diperluas meliputi pemblokiran, penyadapan, pelarangan berpergian bagi Tersangka.

Tak hanya itu, perlindungan terhadap korban dan kelompok rentan turut menjadi bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana.

Selanjutnya, lulusan doktor Universitas Andalas itu, menjelaskan perihal Pengakuan Bersalah (Plea Bargain) yang menjadi hal baru dalam KUHAP 2025.

Plea Bargain, tambah Prim Haryadi, merupakan mekanisme hukum bagi terdakwa untuk mengakui kesalahannya dalam suatu tindak pidana dan kooperatif dalam pemeriksaan.

“Hal ini, dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya dengan imbalan keringanan hukuman,” jelasnya.

Berikut adalah tiga persyaratan terkait Plea Bargain:

1.baru pertama kali melakukan tindak pidana;

2.terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (Rp500 Juta); dan/atau

3.bersedia membayar ganti rugi atau restitusi.

“Dalam hal Hakim menerima Pengakuan Bersalah, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan acara singkat, sedangkan dalam hal Hakim menolak Pengakuan Bersalah, perkara dilanjutkan sesuai dengan prosedur pemeriksaan dengan acara biasa,” tegas Prim Haryadi.

Pria yang pernah menjabat sebagai Dirjen Badilum (2019-2021) itu menuturkan, dalam waktu ke depan, Mahkamah Agung akan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) sebagai langkah untuk merumuskan teknis pelaksanaan KUHAP 2025.

Hal itu, mencakup penyusunan PERMA terkait Plea Bargain, Restorative Justice, hingga prosedur teknis penyitaan lintas wilayah/lintas negara.

Pertemuan yang digelar di Ruang Command Center Ditjen Badilum, berjalan dinamis dan interaktif, ditandai dengan banyaknya peserta yang antusias bertanya kepada narasumber.

Peserta dari seluruh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri se-Indonesia, mengajukan pertanyaan terkait dengan pelaksanaan teknis, misalnya, penjelasan putusan penuntutan tidak dapat diterima, pembahasan teknis soal persidangan Plea Bargaining, hingga pertanyaan tentang pelaksanaan penyitaan lintas wilayah dan luar negeri. (M. Sukri)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *