Simpati Publik vs Kepastian Hukum, Tantangan Hakim dalam Menegakkan Keadilan

DKI JAKARTA, Hukum24 Dilihat
banner 468x60

Jakarta | Expose Online.co.id

Keadilan tidak diukur dari siapa yang diuntungkan oleh perbuatan itu, tetapi dari sejauh mana perbuatan tersebut, sejalan dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang beradab, Senin, 20 Oktober 2025.

banner 336x280

Tidak ada ruang sidang yang benar-benar sunyi. Di balik setiap palu yang diketuk, ada suara nurani yang bergema di hati seorang hakim.

Dalam ruang sidang, hati seorang hakim sering kali diuji bukan hanya oleh pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga oleh getaran nurani yang muncul dari wajah manusia yang dihadapinya.

Ada kalanya seorang terdakwa berdiri di depan majelis hakim, jelas terbukti melanggar hukum, namun perilaku kooperatif, penyesalan yang tulus, serta dukungan masyarakat luas di sekitarnya menggambarkan sosok yang jauh dari citra penjahat dalam bayangan umum.

Di titik inilah dilema keadilan kerap hadir. Di satu sisi, hukum menuntut kepastian, bahwa setiap kejahatan harus dijatuhi sanksi sebagaimana mestinya.

Namun di sisi lain, rasa kemanusiaan mengetuk hati hakim, terutama ketika kejahatan dilakukan oleh seseorang yang selama ini dikenal berbuat baik dan bahkan mendapat dukungan moral dari masyarakat.

Fenomena ini mengingatkan pada kisah legendaris Robin Hood yang merupakan kisah dari cerita rakyat Inggris, yakni sosok yang mencuri dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin.

Dalam pandangan moral masyarakat, ia adalah pahlawan bagi kaum tertindas. Namun dalam kacamata hukum, tindakannya tetaplah pencurian yang melanggar norma dan merusak tatanan hukum.

Kisah itu, menjadi cermin bahwa niat baik tidak dapat serta-merta menghapus kesalahan hukum.

Keadilan tidak diukur dari siapa yang diuntungkan oleh perbuatan itu, tetapi dari sejauh mana perbuatan tersebut, sejalan dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang beradab.

Dalam konteks inilah, hakim dituntut untuk memadukan kepastian hukum dengan kearifan moral.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat (1), menegaskan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim tidak boleh menjadi sekadar corong undang-undang, melainkan penafsir yang memahami bahwa di balik setiap kejahatan, ada manusia yang harus dinilai secara utuh, bukan hanya dari perbuatannya, tetapi juga dari niat dan dampaknya bagi lingkungan sosial.

Namun pemahaman ini, tidak berarti bahwa hakim dapat mengesampingkan hukum demi rasa simpati. Hukum tetap harus ditegakkan.

Hanya saja, cara penegakannya perlu memperhatikan asas ultimum remedium, yakni bahwa hukum pidana hendaknya menjadi sarana terakhir, bukan pilihan pertama, dalam menyelesaikan persoalan hukum.

Saat kejahatan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian besar dan terdapat penyesalan serta dukungan sosial yang kuat, maka tujuan keadilan dapat dicapai melalui hukuman yang bersifat mendidik, bukan semata menghukum.

Salah satu bentuk hukuman yang mencerminkan keseimbangan antara penegakan hukum dan kemanusiaan adalah pidana dengan masa percobaan.

Banyak yang keliru memahami pidana percobaan, sebagai bentuk kompromi atau jalan tengah yang melemahkan hukum.

Padahal, pemidanaan semacam ini sama sekali bukan pembebasan atau pengampunan. Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas mengatur bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat pelaksanaannya tidak perlu dilakukan, kecuali jika terpidana melakukan tindak pidana lain dalam masa percobaan tersebut.

Artinya, pidana percobaan tetap merupakan hukuman, hanya saja pelaksanaannya ditangguhkan dengan harapan agar terpidana dapat memperbaiki diri tanpa harus merasakan dampak destruktif dari pemenjaraan.

Hukum tetap ditegakkan, kesalahan tetap dinyatakan, namun pelaksanaannya dilakukan dengan sentuhan kemanusiaan.

Hakim yang menjatuhkan pidana percobaan, bukan sedang melunak terhadap pelaku, melainkan menunjukkan keyakinan bahwa keadilan sejati dapat ditegakkan tanpa harus merenggut kemerdekaan seseorang.

Pidana percobaan juga mencerminkan filosofi, menghukum bukan berarti memutus hubungan antara individu dan masyarakat, melainkan memberi kesempatan bagi pelaku untuk membuktikan perubahan dan tanggung jawab moralnya.

Ia adalah bentuk penghukuman yang bijak, di mana negara tetap hadir menegakkan hukum, namun dengan cara yang tidak mematikan potensi kebaikan yang masih tersisa dalam diri terpidana.

Namun, di balik semua itu, simpati publik tetap tidak boleh menjadi satu-satunya dasar putusan.

Empati harus tetap disaring melalui prinsip keadilan objektif. Hakim tidak boleh hanyut dalam arus opini publik atau tekanan moral masyarakat.

Keadilan bukanlah soal siapa yang paling banyak mendapat dukungan, melainkan siapa yang benar di hadapan hukum dan nurani.

Menjadi hakim adalah seni menyeimbangkan dua dunia yakni dunia norma yang tegas dan dunia manusia yang penuh nuansa.

Ketika seorang terdakwa yang baik hati, serta banyak manaruh simpati harus diadili karena kesalahannya, tugas hakim bukan sekadar menghukum, melainkan memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan tetap menghormati nilai kemanusiaan.

Sebab berdasarkan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim bukanlah mesin hukum, melainkan penjaga rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dan keadilan yang sejati tidak hanya menghukum kesalahan, tetapi juga memulihkan manusia tanpa kehilangan arah dari hukum yang harus ditegakkan.

Sebab di tangan hakim, keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dimanusiakan. (M. Sukri)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *